JAKARTA - Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Farouk Muhammad menilai bahwa penangkapan dan penahanan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, sarat muatan politik. Perlu dibentuk tim pencari fakta untuk mengungkap perkara ini secara independen.
"Betapa profesionalnya pun tindakan polisi, akan sukar dihindari penilaian publik bahwa penangkapan Novel Baswedan itu lebih bermuatan politik," ujar Farouk kepada Kompas.com, Kamis (7/5/2015).
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI itu berpendapat bahwa dibukanya kembali kasus Novel masih satu paket dengan proses hukum Polri terhadap pimpinan KPK seusai penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan menerima gratifikasi.
Menurut Farouk, seorang penyidik memang memiliki wewenang besar untuk merampas kemerdekaan seseorang dalam penegakan hukum. Namun, ia mengingatkan bahwa sifat hukum adalah tidak rinci dan dinamis. Oleh sebab itu, subyektivitas penyidik sangat berperan dalam pengambilan keputusan, termasuk soal penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan Novel.
"Karena itu, kontrol penggunaan wewenang penyidik harusnya diperketat, baik melalui hukum, etika profesi, atau moral si penyidik sendiri," ujar Farouk.
Indikator sederhananya adalah penilaian penuntut umum atau hakim saat persidangan. Jika keputusan penyidik dibenarkan, maka kinerjanya harus mendapat reward. Tetapi, jika sebaliknya, si penyidik harus melakukan rehabilitasi dan memberikan ganti rugi.
Keperluan ini menjadi sangat penting terkait penanganan perkara-perkara menonjol yang mengundang perdebatan publik, seperti kasus Novel. Jika ternyata tindakan penyidik menunjukkan adanya pemaksaan kehendak yang dapat dipandang bermotif iri hati pribadi, keberpihakan, ataupun motif politis, maka sepantasnyalah penyidik yang bersangkutan harus dikenai sanksi.
"Ingat ya, kewenangan penyidik bukan 'cek kosong' yang bisa digunakan semena-mena oleh penyidik," ujar dia.
Tim pencari fakta
Melihat gelagat Polri, Farouk memperkirakan bahwa perkara Novel tidak akan dihentikan. Farouk mendorong pembentukan tim pencari fakta yang independen terkait sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan Novel.
Ia juga mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo tak semestinya melakukan intervensi hukum. Sebaiknya, Presiden membentuk tim pengawasan manajerial guna memastikan bahwa penggunaan wewenang penyidik Novel dapat dipertanggungjawabkan. "Tim ini harus bebas dari muatan politis, ya," ujar dia.
Novel merupakan tersangka tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan atau seseorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapat keterangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP dan atau Pasal 422 KUHP juncto Pasal 52 KUHP. Tindak pemaksaan itu terjadi di Pantai Panjang Ujung, Kota Bengkulu, pada 18 Februari 2004 sebagaimana dilaporkan oleh Yogi Hariyanto.
Novel ditangkap penyidik Bareskrim Polri di rumahnya, Jumat (1/5/2015) dini hari. Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti sudah memberikan instruksi agar tidak menahan Novel. Namun, pada saat yang sama, penyidik menerbangkan Novel ke Bengkulu untuk melaksanakan rekonstruksi. Presiden Jokowi sempat meminta Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti melepaskan Novel. Akhirnya Novel dilepaskan pada Sabtu (2/5/2015).
"Betapa profesionalnya pun tindakan polisi, akan sukar dihindari penilaian publik bahwa penangkapan Novel Baswedan itu lebih bermuatan politik," ujar Farouk kepada Kompas.com, Kamis (7/5/2015).
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI itu berpendapat bahwa dibukanya kembali kasus Novel masih satu paket dengan proses hukum Polri terhadap pimpinan KPK seusai penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan menerima gratifikasi.
Menurut Farouk, seorang penyidik memang memiliki wewenang besar untuk merampas kemerdekaan seseorang dalam penegakan hukum. Namun, ia mengingatkan bahwa sifat hukum adalah tidak rinci dan dinamis. Oleh sebab itu, subyektivitas penyidik sangat berperan dalam pengambilan keputusan, termasuk soal penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan Novel.
"Karena itu, kontrol penggunaan wewenang penyidik harusnya diperketat, baik melalui hukum, etika profesi, atau moral si penyidik sendiri," ujar Farouk.
Indikator sederhananya adalah penilaian penuntut umum atau hakim saat persidangan. Jika keputusan penyidik dibenarkan, maka kinerjanya harus mendapat reward. Tetapi, jika sebaliknya, si penyidik harus melakukan rehabilitasi dan memberikan ganti rugi.
Keperluan ini menjadi sangat penting terkait penanganan perkara-perkara menonjol yang mengundang perdebatan publik, seperti kasus Novel. Jika ternyata tindakan penyidik menunjukkan adanya pemaksaan kehendak yang dapat dipandang bermotif iri hati pribadi, keberpihakan, ataupun motif politis, maka sepantasnyalah penyidik yang bersangkutan harus dikenai sanksi.
"Ingat ya, kewenangan penyidik bukan 'cek kosong' yang bisa digunakan semena-mena oleh penyidik," ujar dia.
Tim pencari fakta
Melihat gelagat Polri, Farouk memperkirakan bahwa perkara Novel tidak akan dihentikan. Farouk mendorong pembentukan tim pencari fakta yang independen terkait sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan Novel.
Ia juga mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo tak semestinya melakukan intervensi hukum. Sebaiknya, Presiden membentuk tim pengawasan manajerial guna memastikan bahwa penggunaan wewenang penyidik Novel dapat dipertanggungjawabkan. "Tim ini harus bebas dari muatan politis, ya," ujar dia.
Novel merupakan tersangka tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan atau seseorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapat keterangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP dan atau Pasal 422 KUHP juncto Pasal 52 KUHP. Tindak pemaksaan itu terjadi di Pantai Panjang Ujung, Kota Bengkulu, pada 18 Februari 2004 sebagaimana dilaporkan oleh Yogi Hariyanto.
Novel ditangkap penyidik Bareskrim Polri di rumahnya, Jumat (1/5/2015) dini hari. Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti sudah memberikan instruksi agar tidak menahan Novel. Namun, pada saat yang sama, penyidik menerbangkan Novel ke Bengkulu untuk melaksanakan rekonstruksi. Presiden Jokowi sempat meminta Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti melepaskan Novel. Akhirnya Novel dilepaskan pada Sabtu (2/5/2015).
Penulis: asybook © 2015
Anda sedang membaca Artikel berjudul Penangkapan Novel Baswedan, yang diterbitkan oleh asybook. Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda. Mohon maaf apabila terdapat konten yang memiliki tanda baca rusak, dan salah dalam penulisan. Jika ada pertanyaan, kritik dan saran yang ingin disampaikan silahkan tulis di kotak komentar.
:: Terima Kasih ::
0 comments:
Posting Komentar
Komentar yang mengandung "Link Aktif, Out of Topic, Unsur SARA" akan segera dihapus untuk menghindari SPAM.
1 Komentar sangat berarti bagi kami,
Terima Kasih Telah Berkunjung..