Bagaimana bisa ada orang yang membenci Syiah tapi masih mengidolakan tokoh2 Syiah dan menggemari karya2 mereka?
Semoga mereka melakukannya karena kebodohannya atau ketidak tahuannya akan hal itu. Ini peringatan untuk kita agar tidak asal ikut2an.
Karena banyak dari orang2 kita yang
membenci Syiah, melaknat Syiah, namun mereka masih mengidolakan tokoh
Syiah dan menyukai karya2nya. Mereka masih mengidolakan tokoh Syiah
semisal Muhammad Quraish Shihab yang pemikirannya banyak terpengaruh ajaran Syiah, berikut dengan karyanya Tafsir Al Misbah.
Tidak ketinggalan juga dengan artis yang populer di Indonesia, yang pemikirannya juga terpengaruh ajaran Syiah, yaitu Haddad Alwi dan sulis.
Jangan kaget kalo lagu2 yang mereka bawakan diambil dari lagu2 ajaran Syiah. Seperti lagu berikut ini:
“Ya Thayyibah…ya Thayyibah…”
Contoh (dijamin 100% Syiah):
Tidak ketinggalan juga dengan artis yang populer di Indonesia, yang pemikirannya juga terpengaruh ajaran Syiah, yaitu Haddad Alwi dan sulis.
Jangan kaget kalo lagu2 yang mereka bawakan diambil dari lagu2 ajaran Syiah. Seperti lagu berikut ini:
“Ya Thayyibah…ya Thayyibah…”
Contoh (dijamin 100% Syiah):
(Ket: Jangan didengarkan dan jangan dinikmati lagunya. Sekedar referensi saja)
Disebutkan:
Mengenai nyanyian Ya Thoybah (wahai Sang
Penawar) itu juga nyanyian, hanya berbahasa Arab. Kalau nyanyian
berbahasa Indonesia, Inggeris atau lainnya yang biasanya berkisar
tentang cinta, pacaran dan sebagainya, misalnya dinyanyikan di masjid,
orang sudah langsung faham bahwa itu tidak boleh.
Nyanyian cinta-pacaran seperti itu justru
kesalahannya jelas. Orang langsung tahu. Sebaliknya, kalau nyanyiannya
itu seperti Ya Thoybah, kalau itu mengandung kesalahan (dan memang
demikian), justru orang tidak mudah untuk menyalahkannya. Karena dia berbahasa Arab, dan menyebut nama sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyebut Al-Quran dan sebagainya.
Padahal, nyanyian Ya Thoybah itu justru isinya berbahaya bagi Islam, karena ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memuji Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Berikut ini kutipan bait yang ghuluw dari nyanyian Ya Thoybah (wahai Sang Penawar):
Berikut lirik dan terjemahan lagu tersebut,
lirik Lagu YA THOYBAH dan terjemahan
يَا طَيْبَةْ يَا طَيْبَة يَا طَيْبَة يَا دَوَالْعيَا نَا
اِشْتَقْنَا لِكْ وَالْهَوَى نَدَانَا، وَالْهَوَى نَدَانَايَا عَلِىَّ ابْنَ اَ بِى طَا لِبْ
مِنْكُمُ مَصْدَرُ المَوَا هِبْ
يَا تُرَ ى هَلْ ءُرَى لِى حَاجِبْ
عِنْدُكُمْ اَفضَلُل الغِلمَاَنَ اَفضَلُل الغِلمَاَ نَاَسْيَادِي الْحَسَنْ وَالحُسيْنِ
اِلَى النَّبِيِ قُرَّ ةْ عَيْنِ
يَا شَبَا بَ الجَنَّتَيْنِ جَدُّكُمْ صَا حِبُ القُرْ آنَ صَا حِبُ القُرْ آنَ
SANG PENAWAR
Wahai sang penawar derita
kami merindukanmu
wahai sang penawar Wahai Ali putera Abi Tholib darimulah sumber keutamaan
aduhai,mungkinkah aku,(mendapatkan petunjukmu)
sementara tirai menghalangiku
sedang disisimulah sebaik-baik tempat pengabdian Wahai Al-Hasan dan Al-Husain
Cahaya mata Rasul Alloh
Wahai penghulu pemuda sorga
kakekmu penyampai firman Alloh,Al-qur’an
Ya ‘Aliyya bna Abii Thoolib Minkum mashdarul mawaahib.
Artinya: “Wahai Ali bin Abi Thalib, darimulah sumber keutamaan-keutamaan (anugerah-anugerah atau bakat-bakat).”
Bagaimanapun, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah manusia biasa, bukan Tuhan. Di dalam nyanyian itu sampai disanjung sebegitu, dianggap, dari Ali lah sumber anugerah-anugerah atau bakat-bakat atau keutamaan-keutamaan. Ini sangat berlebihan alias ghuluw.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
Artinya: “Jauhilah olehmu ghuluw (berlebih-lebihan), karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kalian itu hanyalah karena ghuluw –berlebih-lebihan– dalam agama.” (HR Ahmad, An-Nasaai, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, Shahih).
Ali ra sendiri pernah disikapi seperti itu. Abdullah bin Saba’, pendeta Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam, bekata kepada Ali:
“Engkau lah Allah”.
Maka Ali bermaksud membunuhnya, namun dilarang oleh Ibnu Abbas.
Kemudian Ali cukup membuangnya ke Madain
(Iran). Dalam riwayat lain, Abdullah bin Saba’ disuruh bertaubat namun
tidak mau. Maka ia lalu dibakar oleh Ali (dalam suatu riwayat). (lihat
Rijal Al-Kusyi, hal 106-108, 305; seperti dikutip KH Drs Moh Dawam
Anwar, Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI Jakarta, cetakan II, 1998, hal
5-6).
Rupanya antek-antek Abdullah bin Saba’ kini berleluasa menyebarkan missinya.
Kelompok yang oknum-oknumnya diakui sebagai para pendukung tersebarnya aliran sesat di Indonesia itu juga merupakan kelompok yang ghuluw dalam menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelompok yang oknum-oknumnya diakui sebagai para pendukung tersebarnya aliran sesat di Indonesia itu juga merupakan kelompok yang ghuluw dalam menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya adalah nyanyian mereka dalam pengajian-pengajian yang dikenal dengan nyanyian Ya Robbi bil Mushtofaa.
Nyanyian yang satu ini dikhawatirkan
menjurus kepada syirik (kemusyrikan, menyekutukan Allah subhanahu wa
ta’ala), kalau lafal bil (dari Yaa Robbi bil-Mushtofaa) itu dimaksudkan
untuk sumpah, artinya demi (Rasul) pilihan (Mu). Sebab Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. (الترمذي)
“Barangsiapa bersumpah dengan selain
Allah maka sungguh ia telah musyrik (menyekutukan Alah).” (HR
At-Tirmidzi dalam bab iman dan nadzar, kata Abu Isa, hadits ini hasan).
Terlarang pula bila lafal bil (dari Yaa
Robbi bil-Mushtofaa) itu dimaksudkan untuk sababiyah atau perantara,
karena berarti menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah
wafat sebagai perantara (wasilah) kepada Allah. Itu terlarang. Karena
hal itu termasuk ibadah. Sedang ibadah harus tauqifi, berdasarkan dalil.
Karena tak ada dalilnya yang membolehkan, maka para sahabat Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertawassul dengan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sudah wafat.
Adapun minta didoakan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala ketika orang yang diminta itu masih hidup atau
tawassul ketika orangnya masih hidup, maka tidak terlarang.
Kalau ada yang minta hadits larangan
bertawassul dengan dzat makhluk, dalam hal ini isi dari syair Ya
Robbibil, sebenarnya sudah jelas dalam keterangan di atas. Namun agar
lebih jelas, kami kutipkan hadits:
رَوَى الطبراني فِي مُعْجَمِهِ الْكَبِيرِ {
أَنَّهُ كَانَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُنَافِقٌ يُؤْذِي الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ :
قُومُوا بِنَا لِنَسْتَغِيثَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُنَافِقِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّهُ لَا يُسْتَغَاثُ بِي وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ
بِاَللَّهِ }
Thabrani meriwayatkan di dalam kitabnya,
Mu’jam Al-Kabir: Bahwa dulu pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ada seorang munafiq (Abdullah bin Ubay) menyakiti/ mengganggu
orang-orang mukmin, maka Abu Bakar berkata:
Bangkitlah dengan kami, kami akan minta
tolong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari (gangguan)
munafiq ini. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya aku tidak (boleh) dimintai tolong, dan sesungguhnya hanya
Allah lah yang dimintai tolong.” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam
Majma’ Az-Zawaaid 10/159 dan ia berkata: Diriwayatkan oleh Thabrani
sedang para periwayatnya shahih selain Ibnu Lahi’ah dan hadits ini
hasan).
Dalam kitab Fathul Majid dikomentari,
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah nash/ teks
bahwasanya tidak (boleh) minta tolong kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan juga orang lainnya. Beliau membenci perbuatan ini
sebenarnya, walaupun beliau termasuk mampu mengerjakannya (memberi
pertolongan) dalam hidupnya (tetapi ini) sebagai penjagaan akan
terjauhnya Tauhid, dan menutup jalan ke arah bahaya syirik, dan adab
serta tawadhu’ kepada Tuhannya, dan memberikan peringatan kepada
ummatnya tentang sarana-sarana kemusyrikan dalam ucapan dan perbuatan.
Kalau dalam hal yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mampu mengerjakannya ketika hidupnya saja (beliau
tidak membolehkan), maka bagaimana beliau akan membolehkan untuk minta
tolong (diperantarakan kepada Allah, misalnya) setelah beliau wafat, dan
dimintai untuk mengerjakan hal-hal yang beliau tidak mampu atasnya
kecuali Allah saja yang mampu mengerjakannya? Sebagaimana telah
dilakukan oleh lisan-lisan sebagian banyak penyair seperti Al-Bushiri,
Al-Bara’i dan lainnya, yang beristighotsah (minta tolong) kepada orang
yang tidak memiliki manfaat dan mudhorot pada dirinya sendiri…( Fathul
Majid, hal. 196-197).
Secara pasti, ibadah itu harus ada
dalilnya (ayat Al-Quran atau Hadits yang shahih) atau ada contohnya dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (kesepakatan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaih…i wa
sallam). Dalam kasus ini, sya’ir itu tidak sesuai dengan dalil, seperti
uraian tersebut di atas, dan tidak pernah ada contoh dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun para sahabatnya.
Ibadah saja mesti ada dalilnya atau contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedang sya’ir Ya Rabbi bil Musthofaa… itu menyangkut aqidah, maka dalilnya untuk membolehkannya harus jelas. Ternyata tidak ada dalil yang membolehkan secara jelas, yang ada justru isi dan bentuk sya’ir itu bertentangan dengan dalil aqidah yang benar.
Jadi pertanyaan yang mestinya diajukan
adalah: Mana hadits yang membolehkan atau membenarkan isi sya’ir itu,
bukan mana haditsnya yang melarang. Karena isi sya’ir itu menyangkut
aqidah, yang dalam hal aturannya justru lebih ketat dibanding ibadah.
Apalagi isi sya’ir itu sudah tidak sesuai dengan aqidah yang benar.
Masalah ulama tidak tahu atau tahu tetapi
tidak menyatakan bahwa itu salah, ini hal yang sering diungkapkan orang
dalam berbagai kesempatan. Namun yang jelas, agama itu landasannya
adalah dalil (ayat Al-Quran atau Hadits yang shahih) dengan pemahaman
yang sesuai dengan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
sahabatnya, tabi’in, dan tabi’it tabi’in.
Di sinilah pentingnya mempelajari agama,
agar tidak hanya mengikuti apa kata orang, walau disebut ulama. Insya
Allah kalau menempuh jalan seperti ini, kita akan selamat. Amien.
Demikian pula sholawat Badar, di sana ada lafal bil haadii Rasuulillaah.
Itu sama dengan keterangan tersebut di atas. (lebih jelasnya, baca buku
Tasawuf Belitan Iblis, Darul Falah, Jakarta, 1422H, atau Aliran dan
Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002, atau
Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, WIP Solo, 2007).
Penulis: asybook © 2015
Anda sedang membaca Artikel berjudul Lagu Ya Thoybah, Ternyata Berbau SYIAH!, yang diterbitkan oleh asybook. Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda. Mohon maaf apabila terdapat konten yang memiliki tanda baca rusak, dan salah dalam penulisan. Jika ada pertanyaan, kritik dan saran yang ingin disampaikan silahkan tulis di kotak komentar.
:: Terima Kasih ::
0 comments:
Posting Komentar
Komentar yang mengandung "Link Aktif, Out of Topic, Unsur SARA" akan segera dihapus untuk menghindari SPAM.
1 Komentar sangat berarti bagi kami,
Terima Kasih Telah Berkunjung..